Esai

Keberkahan Kitab Minhaj Ath-Thalibin Karya Imam An-Nawawi

06 Jan 2022 06:02 WIB
4638
.
Keberkahan Kitab Minhaj Ath-Thalibin Karya Imam An-Nawawi Mufti Suriah Syekh Usaman ar-Rifai mengaji kitab Minhaj ath-Thalibin dan pengajiannya dapat disimak di Youtube.

Sebagai santri yang telah lama mengagumi fikih, membaca karya-karya Imam An-Nawawi (w. 676 H) selalu menimbulkan kenikmatan tak terhingga dalam diri saya; “ladz-dzatul qira’ah.” Ibarah-ibarah An-Nawawi ditulis dengan bahasa yang jelas, tegas dan sederhana, namun tetap sarat makna.

An-Nawawi adalah salah seorang mujtahid tarjih yang fatwa-fatwanya menjadi rujukan utama dalam menentukan pendapat-pendapat rajih dan mu’tamad dalam internal Mazhab Syafi’i. Bahkan, bila dijumpai tarjih ulama yang tidak sehaluan dengan tarjih-nya maka pendapat Imam Nawawilah yang dipilih dan dianggap sebagai qaul yang merepresentasikan pendapat mazhab.

An-Nawawi setidaknya menulis 9 karya dalam bidang fikih. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, At-Tahqiq. Kitab ini ditulis untuk memaparkan pendapat-pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i. Sayangnya, kitab ini tidak ditulis hingga tuntas.

Kedua, Majmu’ Syarah Muhazzab. Dari judulnya, kitab ini ditulis sebagai komentar terhadap kitab Al-Muhazzab karya Al-Imam Asy-Syairazi (w.476 H). Namun Imam An-Nawawi juga tidak sempat menulisnya tuntas. Ia menyelesaikannya sampai pada bab riba saja.

Ketiga, Raudhoh Ath-Thalibin. Merupakan mukhtashar dari Al-Fath Al-Aziz Syarah Al-Aziz karya besar gurunya, Abu Al-Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar-Rafi’i, alias Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H).

Keempat, Minhaj Ath-Thalibin. Tidak lain adalah ringkasan dari kitab Al-Muharrar Fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i, yang juga karya Ar-Rafi’i. Kitab yang sengaja disebut belakangan inilah yang menjadi topik utama dalam tulisan ini.

Kitab Minhaj Ath-Thalibin

Minhaj Ath-Thalibin merupakan kitab penuh keberkahan. Keberadaannya menarik banyak perhatian ulama kalangan Syafi’iyah, khususnya generasi muta’akhirin. Para pentolan ulama Mazhab Syafi’iyah sekaliber Imam Jalaluddin al-Mahalli (W.864 H), Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli (W. 957 H), Imam Ibnu Hajar al-Haitami (W. 974 H), Imam Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini (W. 977 H), serta lainnya; memberikan perhatian lebih dengan menulis syarah atau komentar berjilid-jilid atas kitab ini. Konon, ada sekitar tiga ratus lebih kitab yang lahir dari ‘rahim’ Minhaj Ath-Thalibin. Baik berupa syarah (komentar), hasyiyah (catatan kaki atas syarah), taqrir, nazam dan lain sebagainya.

 Selain itu, bukti keberkahan kitab yang sedang kita bicarakan ini juga bisa dilihat dari antusias para ulama—dari masa ke masa­—untuk ngalap berkah dengan cara menghafalnya. Mereka yang mampu melumat habis Minhaj Ath-Thalibin hingga purna akan diberi gelar kehormatan dengan sebutan “Al-Manhaji”; penghafal kitab Minhaj. Gelar itu menjadi pertanda bahwa ia telah mampu menguasai mazhab. Sebaliknya, ia yang tidak sanggup menghafal kitab Minhaj akan diragukan kualitas kepakarannya tentang Mazhab Syafi’i.

Seorang sejarawan, ulama hadis, sekaligus ahli tafsir bernama Imam as-Sakhawi (w. 902 H), dalam bukunya Al-Manhal Al-‘Adzb Al-Rawy fi Tarjamati Quthb Al-Auliya’ An-Nawawi, mengatakan :

ومن فور جلالته وجلالة مؤلفه انتساب جماعة ممن حفظه إليه، فيقال له: المنهاجي، وهذه خصوصية لا أعلمها الآن لغيره من الكتب

“Dari sekian banyak bukti nyata keluhuran kitab Minhaj Ath-Thalibin dan pengarangnya, Imam An-Nawawi, adalah dilabelinya para penghafal kitab ini dengan Al-Manhaji. Ini, menurutku, keistimewaan yang tidak ditemukan di kitab-kitab lain.”

Hal lain yang juga jadi bukti betapa besar keberkahan kitab ini adalah kisah dari para sadah yang meminta murid-muridnya untuk mendaras Minhaj Ath-Thalibin. Kisah itu direkam oleh Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait, salah seorang ulama kelahiran Jakarta yang saat ini menetap di Madinah, dalam bukunya “Al-Manhaj Al-Sawi Syarah Ushul Al-Thariqah Al-Sadah Ali Ba'alawi.” Berikut beberapa kutipannya :

وكان سيدنا القطب عمر بن عبد الرحمن العطاس نفع الله به يأمر بقراءة المنهاج ويحرض عليه ويقول ان النووي ضمن بالفتوح لمن قرأ فيه

“Suatu ketika Sayyid Al-Qutb Umar bin Abdurrahman al-Attas (w. 1072 H), ulama Yaman yang masyhur sebagai penggubah Ratibul Attas, menyuruh murid-muridnya untuk membaca kitab Minhaj. Beliau berkata : Imam An-Nawawi memberi garansi futuh (dibuka pemahamannya) bagi orang yang mau membacanya.”

Lebih lanjut, Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas pernah bertanya kepada  Syekh al-Faqih Abdillah bin Umar Ba’abbad ihwal kitab apa yang menjadi bahan bacaannya. Ia menjawab “(Aku suka membaca) kitab al-Irsyad karya Syekh Ismail bin Muqri.” Seketika Habib Umar meminta murid kinasihnya, Syekh Ali Baros agar membacakan kitab Minhaj Ath-Thalibin untuk al-Faqih Abdillah Ba’abbad, Habib Umar berkata:

 يا علي أقرئه في كتاب المنهاج للشيخ النووي و أقرىء جميع اصحابك فيه فإنه مبارك والفتح ان شاء الله حاصل فى قراءته لأنه قمين بذلك وكيف لا ومصنفه قطب وقد دعا لقارئه

“Wahai Ali, Bacakanlah kitab “Minhaj” untuknya (al-Faqih Abdullah Ba’abbad). Dan jangan lupa juga untuk santri-santrimu! Ketahuilah bahwa kitab tersebut memiliki banyak keberkahan. Ia memberikan jaminan futuh kepada siapapun yang sudi membacanya. Sebab, kitab Minhaj di-anggit oleh salah seorang wali qutub yang tak pernah jenuh mendoakan orang-orang yang membaca kitabnya.”

Pada satu kesempatan, Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad bin Ali Al-Haddad atau yang karib dikenal dengan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1720 M), pengarang Ratib Al-Haddad sebagaimana dikatakan Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas (w. 1334 H) pernah mengatakan:

قراءة المنهاج فى الفقه والإحياء فى التصوف والبغوي فى التفسير والملحة فى الاعراب وكتب ابن هشام مما يحصل بقراءتها الفتوح وتترقى بها الروح

“Membaca kitab Minhaj Ath-Thalibin karya Imam An-Nawawi, Ihya' Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Ma'alim Al-Tanzil karya Imam al-Baghawi (w.516 H) dalam tafsir, Milhah al-I'rob yang ditulis Abi Muhammad al-Qosim bin Ali al-Hariri (w.516 H), dan karya-karya Ibnu Hisyam (w. 761 H); Mughni Al-Labib, Syudzur Al-Dzahab, Qotru Al-Nada, Audhah al-Masalik, al-I'rob 'Ala Qawa'id al-I'rab dan lain-lain; termasuk dari sebab diperolehnya futuh dan menempatkan ruh kita (kelak) di tempat yang mulia.”

Masih dalam kitab Al-Manhaj Al-Sawi, selain menganjurkan santri-santrinya untuk membaca Minhaj sebagian sadah juga mengajarkan adab khusus yang harus dilakukan ketika hendak membaca syarah-syarah Minhaj Ath-Thalibin. Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas menjelaskan:

من اراد أن يقرأ شيئا من شروحه فليقرأ المغني أولا ثم النهاية ثم التحفة ومن اشكل عليه شيء من التحفة والنهاية فاليراجع الغرر

“Siapapun yang hendak membaca syarah-syarah Minhaj, alangkah baiknya jika ia memulainya dengan al-Mughni terlebih dahulu; baru kemudian an-Nihayah dan pada puncaknya ia harus berpedoman pada kitab at-Tuhfah. Apabila dihadapkan pada persoalan rumit yang dirasa tidak terselesaikan jika hanya membaca at-Tuhfah dan an-Nihayah, maka sudah seharusnya ia merujuk kepada al-Ghuror (Ghuror al-Baha’ al-Dhowi fi Dzikr al-Ulama’ min Bani Jadid wa Bashori wa Alawi karya al-Muhaddis al-Faqih, Jamaluddin Muhammad bin Ali Khird Ba’alawi).”

Adab serupa yang juga perlu diperhatikan dalam membaca syarah-syarah Minhaj adalah terlebih dahulu melihat kapasitas diri. Ini sangat berpengaruh dalam menentukan syarah apa yang seharusnya dibaca. Sebagaimana termaktub dalam al-Manhaj al-Sawi, Habib Ahmad juga berkata :

من اراد ان يتعلم فعليه بالمغني ومن اراد ان يعلم فعليه بالتحفة ومن اراد ان يحقق فعليه بالمحلي على المنهاج

Bila dia seorang santri pemula maka syarah yang seharusnya ia baca adalah “Mughni Al-Muhtaj fi Ma’rifah Alfadz Al-Minhaj.” Dalam perjalanannya, kitab “Mughni” dikenal luas di kalangan sarjana muslim sebagai salah satu kitab yang paling renyah dibaca ketimbang syarah-syarah Minhaj lainnya. Sehingga, wajar saja jika kitab ini direkomendasikan untuk para pemula yang masih baru mempelajari Minhaj.

Sementara bagi mereka yang sudah matang dan siap membacakan kitab Minhaj di hadapan murid-muridnya, maka dianjurkan untuk memilih “Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj” sebagai rujukannya. Pemantiknya tidak lain karena bahasanya yang agak sulit dicerna. Kendati demikian, karya Ibnu Hajar al-Haitami ini hadir sebagai ensiklopedi fikih yang mampu memberikan solusi terhadap setiap persoalan-persoalan fikih secara detail.

Pada gilirannya, “Syarh Al-Mahalli ala Al-Minhaj” adalah solusi terbaik bagi ia yang hendak membaca kitab Minhaj Ath-Thalibin secara kompeherensif dan mendalam (tahqiq). Pengarangnya, imam Jalaluddin al-Mahalli mengulas tuntas isi dari kitab Minhaj dengan menampilkan rujukan-rujukan primer baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Tidak ketinggalan, beliau juga menyisipkan nalar-nalar ushuli di tengah-tengah persoalan fikih yang sedang ia syarahi.

Ala kulli hal, saya rasa sudah cukup beberapa kutipan dari Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait di atas untuk dijadikan dalil atas keberkahan karya Imam An-Nawawi yang fenomenal tersebut. Di samping menjadi dalil keberkahan, beberapa kutipan itu mestinya juga menjadi motivasi bagi para santri, kiai atau siapapun yang menasbihkan diri sebagai (minimal) pengagum Fikih Mazhab Syafi’i, agar senantiasa bermulazamah, bertungkus lumus memahami kitab Minhaj Ath-Thalibin, sembari berharap diberi futuh oleh allah Swt. Wallahu a’lam.

 Wandi Isdiyanto
 Wandi Isdiyanto / 9 Artikel

Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.

Ukun
06 January 2022
Alhamdulillah, semoga sehat selalu dan berlimpah berkah....

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: