Esai

Memahami Fitrah Beragama dalam Berakidah

04 Nov 2020 03:37 WIB
1323
.
Memahami Fitrah Beragama dalam Berakidah

Saat seseorang dilahirkan di muka bumi, Allah ciptakan dia sesuai fitrah yang-pada hakikatnya-selaras dengan agama yang hak. Allah berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)

Termasuk dari sunatullah, keberagaman dan perbedaan akidah tidak bisa terelakkan dalam kehidupan manusia. Untuk menjadi dewasa, sudah seharusnya hal tersebut disikapi dengan nilai-nilai akhlak yang luhur dan takaran syariat yang sesuai. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi kesenjangan sosial, bahkan menimbulkan permusuhan dan saling hujat yang berujung sampai pertumpahan darah antar sesama manusia.

Islam sendiri melarang terjadinya pertumpahan darah tanpa adanya sebab, walaupun hal itu dengan selain umat Islam. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari Ahli Dzimmah, maka dia tidak akan mencium wanginya surga, dan sesungguhnya wanginya surga akan ditemuinya dari jarak tujuh puluh tahun.” (HR. An-Nasai)

Menyoal kebebasan berakidah (hurriyyah al-I’tiqad) bagi non muslim, para ulama kita sendiri telah meletakan pondasi-pondasi manhaj yang didasari dengan keilmuan dan pemikiran yang luas dan sahih, sehingga mendapatkan akseptasi yang tidak rumpang pada kehidupan bermasyarakat.

Baca juga: Teologi Adalah Produk Sosial

Hurriyyah al-I’tiqad di sini diartikan bahwa non muslim mempunyai kebebasan dalam menjalankan ibadahnya tanpa adanya gangguan dan paksaan harus masuk agama Islam dalam bentuk apapun, selagi seseorang tersebut tidak melampaui batas saat menjalankan ibadahnya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Hal ini dibenarkan dan selaras dengan firman Allah Swt., “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Menanggapi ayat ini, Syekh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Makna ayat ‘Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)’ yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu telah jelas dan nyata dalil dan bukti-bukti kebenarannya. Islam tidak butuh memaksa seseorang agar masuk ke dalam agama itu. Barang siapa yang Allah berikan hidayah-Nya agar dia masuk Islam, melapangkan dadanya, menyinari mata hatinya, maka dia akan masuk Islam dengan bukti yang jelas. Dan barangsiapa yang Allah butakan hatinya serta Allah tutup pendengaran dan matanya untuk menerima Islam, maka sesungguhnya dia tidak akan mendapatkan manfaat atas keislamannya yang dalam keadaan dipaksa tersebut.”

Jihad dalam Islam

Adapun perihal jihad dalam Islam yang diartikan–oleh sebagian orang- sebagai bentuk pelegalan untuk memaksa seseorang masuk Islam—Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi mengatakan bahwa jihad yang disyariatkan dalam Islam tidak digunakan semata-mata untuk memaksa seseorang agar masuk agama Islam, melainkan disyariatkan untuk keberlangsungan dakwah Islam dan tersebarnya keadilan di muka bumi ini.

Selain itu, ada beberapa nash yang disalahpahami oleh sebagian orang. Seperti hadits Nabi Muhammad Saw., “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusannya Allah, mendirikan salat dan membayar zakat...”. Dari hadits ini, sebagian orang menyalahpahamkan tafsir dari kata an-Nâs (manusia) dan menjadikannya sebagai dalil diperbolehkannya memaksa semua orang untuk masuk Islam.

Menaggapi pemahaman yang salah ini, Grand Syekh al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Tayyeb berpendapat, “Sesungguhnya hadits Rasulullah Saw. ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusannya Allah, mendirikan salat dan membayar zakat...’ adalah hadits shahih, akan tetapi pemahaman sebagian orang yang mewajibkan menggunakan pedang (perang) untuk menyebarkan Islam merupakan pemahaman yang salah dan tidak menunjukan adanya pemahaman ilmu gramatikal Arab yang benar, karena kata an-Nâs (manusia) di sana bukanlah ditujukan untuk seluruh makhluk atau seluruh manusia. Pada kata an-Nâs terdapat alif-lam yang faedahnya untuk menunjukan sesuatu khusus yang sudah diketahui maknanya, yaitu (kata an-Nâs) terkhusus untuk kaum musyrikin Makkah yang telah mengusir muslimin dan memerangi Nabi Muhammad Saw.”

Kebebasan Beragama dalam Sejarah Islam

Jika kita tilik dalam sejarah Islam, banyak sekali kita jumpai pengaplikasian Hurriyyah al-I’tiqad untuk non muslim, di mana mereka diberi kebebasan secara mutlak untuk mengekspresikan syiar-syiar mereka. Di antaranya, saat Rasulullah Saw. hijrah dari Kota Makkah ke Kota Yatsrib (Madinah). Beliau mengukuhkan akad pada selembaran kertas yang ditujukan demi kelangsungan persatuan bangsa Arab muslimin dari golongan Muhajirin dan Ansar. Seiring dengan itu, beliau juga membuat akad perjanjian keamanan kepada orang-orang Yahudi di kota itu dalam menjalin hubungan dengan muslimin, dengan maksud setiap golongan dapat menjaga dan memelihara agama dan harta mereka.

Selain itu, pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ra., setelah kemenangan pasukan Islam pada Perang Zatissalâsil yang dikomandoni oleh Sahabat Khalid bin Walid Ra. dalam menaklukan Hurmuz yang merupakan komandan pasukan perang Persia tahun 633 M, Khalifah Abu Bakar menghadap ke wilayah Hirah dan memberikan akad perjanjian keamanan kepada pembesar Nasrani dengan membayar jizyah sejumlah 80.000 dirham dan mereka diperbolehkan melakukan syiar-syiar mereka dengan kebebasan secara mutlak dan mereka juga dimasukkan dalam sistem kepemerintahan Islam untuk menjaga dari serangan kepemerintahan Persia dan segala bentuk serangan lainnya. Sikap toleransi seperti ini juga diterapkan oleh Khulafaurasyidin setelahnya.

Dengan beberapa pemahaman di atas, maka tak heran  jika syariat memperbolehkan seorang muslim untuk menyambung tali persaudaraan dengan saudaranya yang non muslim. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Asma binti Sayyidina Abu Bakar, dia berkata,  “Ibuku pernah menemuiku bersama ayahnya, dan waktu itu dia termasuk orang musyrik pada zaman Rasulullah Saw. yang sudah melakukan perjanjian akad aman dengan Kaum Quraisy, lalu aku meminta penjelasan kepada Rasulullah Saw., ‘Wahai Rasulullah, ibuku telah menemuiku dan dia senang (ingin sekali jika aku berikan sebagian hartaku).’ Lalu Rasulullah Saw. menjawab, ‘Sambunglah ikatan dengannya (berilah dia sebagian hartamu)!’”(HR. Al-Bukhari)

Wallahualam.

Muhammad Nafis
Muhammad Nafis / 1 Artikel

Asal Cirebon, santri al-Anwar Sarang Rembang dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Kairo Mesir

obuwukiluix
14 June 2021
http://slkjfdf.net/ - Ejolkaizo <a href="http://slkjfdf.net/">Etoqicd</a> ldz.uphz.sanadmedia.com.uzb.ds http://slkjfdf.net/
ehcuxauvebbe
14 June 2021
http://slkjfdf.net/ - Okehebi <a href="http://slkjfdf.net/">Ucaxab</a> qrx.qelg.sanadmedia.com.tzu.bg http://slkjfdf.net/

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: