Esai

Kiprah Al-Kindi Menyelaraskan Agama Dan Filsafat

05 Mar 2021 06:18 WIB
1784
.
Kiprah Al-Kindi Menyelaraskan Agama Dan Filsafat

Baik agama dan filsafat adalah dua entry yang berbeda, namun tidak ada alasan keduanya tidak dapat bertemu. Sintesa agama dan filsafat merupakan pekerjaan klasik untuk menyibak kebenaran keduanya. Tulisan ini membahas upaya penyelarasan yang dilakukan oleh Al-Kindi, di mana warisan Al-Kindi tersebut kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf setelahnya, seperti Abu Nashr Al-Farabi, Abu Ali bin Sina dan seterusnya.

Bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Sabbah bin Imran bin Ismail Al-Ash’ats bin Qais Al-Kindi, seorang filsuf Arab pertama. Al-Kindi lahir tahun 801 M di Kufah, Iraq. Beruntung Al-Kindi lahir pada masa Dinasti Abbasiyyah dalam keadaan intelektual dan sosial politik yang sangat dinamis. Keadaan tersebut memberi keuntungan tersendiri baginya karena kemapanan internal dan tidak terganggunya ekonomi keluarga membawanya dapat mengakses dengan mudah literatur-literatur asli Yunani (Drajat, 2006: 9-10).

Di masa Al-Kindi, filsafat belum terlalu dikenal dalam tradisi keilmuan Islam. Dalam hal ini, dia adalah orang pertama yang mengenalkan pemikiran Yunani ke dunia Arab. Dia memang tidak dapat mengakses bahasa Yunani, sehingga ia mengandalkan terjemahan dari penerjemah Kristen, di antaranya: Abd Al-Masih bin Naiman (penerjemah Enneads), Eustathius (penerjemah Metaphysic), dan Yahya bin Al-Bitriq (penerjemah De Caelo, De Anima).

Kekurangan dalam penguasaan bahasa Yunani itu menjadikan Al-Kindi keliru dalam memilih sumber otentik Aristoteles. Seperti buku Enneads yang dalam tradisi Islam dikenal dengan Teologi Aristoteles yang digunakan Al-Kindi ternyata bukan dari Aristoteles. Selain itu, Peter Adamson dalam A History of Islamic Philosophy membandingkan lembaga terjemah yang dipimpin Al-Kindi tidak seakurat lembaga terjemah yang dipimpin rekan sejawatnya yaitu Hunain bin Ishaq Al-Ibadi (Adamson, 2016: 27).

Bagaimanapun sebagai seorang pertama kali mempopulerkan filsafat, tentu Al-Kindi memiliki beberapa tantangan dan kesulitan. Setidaknya ada 2 kesulitan yang dihadapinya:

Pertama, Al-Kindi kesulitan memaparkan gagasan filosofisnya ke dalam bahasa Arab karena pada masa itu bahasa Arab masih kekurangan istilah-istilah teknis yang tercantum dalam literatur Yunani.

Untuk menghadapi masalah tersebut, Al-Kindi melakukan penerjemahan istilah-istilah bahasa Yunani sesuai dengan gramatika yang ada dalam bahasa Arab, mengambil istilah bahasa Yunani (seperti philosophia) yang dijelaskan dalam kata-kata Arab murni (falsafah), memberi makna baru pada istilah-istilah yang telah lama dikenal (Atiyeh, 1983:10-12).

Kedua, adanya pertentangan dan serangan dari kalangan tertentu, yang menganggap filsafat sebagai bid’ah dan kekufuran. Dalam hal ini, Al-Kindi berupaya menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan penyelarasan antara agama dan filsafat.

Untuk masalah kedua ini, hingga saat ini pun dapat dijumpai segolongan dari umat Islam sendiri yang masih mempertentangkan filsafat dan Islam itu sendiri.

Penyelarasan Agama dan Filsafat

Sebagai penggemar Aristoteles, Al-Kindi banyak sekali mencatut literatur filsafat dari Metaphysic Aristoteles untuk mendeskripsikan terma-terma teologi. Di antaranya, Causa Prima atau First Cause Aristoteles (yang oleh Plotinus disebut First Agent) sebagai penggerak utama, oleh Al-Kindi terminologi tersebut mengacu pada Allah swt. yang merupakan penyebab utama. Menurut Al-Kindi, Allah atau Yang Esa adalah merupakan penyebab dari segala penyebab (Klein-Franke dalam Nashr dan Leaman, 1996: 311-312).

Al-Kindi menyebut Allah swt. dengan “Kebenaran” (Al-Haqq). Dalam agama Islam sendiri, Allah swt. adalah yang maha “Pertama dan Pencipta” sehingga menurut Al-Kindi “satu yang benar (Al-Wahid Al-Haqq) adalah yang pertama” itu adalah Allah. Demikian Al-Kindi memberi tafsiran definitif terhadap penggerak yang tidak tergerakkan (unmoveable mover) versi Aristoteles.

Selain itu, dalam Al-Falsafah Ûlâ di buku Risalah al-Kindi ilâ Al-Mu’tashim, Al-Kindi menyukai sebutan Allah dengan al-illah al-ûlâ atau penyebab pertama. Sejalan dengan pengertian Penggerak Pertama yang tidak digerakkan dalam filsafat Aristoteles.

Teori emanasi Al-Kindi pun tidak lepas dari muatan teologi. Teori emanasi yang diadopsi dari Plotinus itu menjelaskan rentetan akal yang diawali dari akal pertama hingga akal kesepuluh atau akal aktif (al-aql al-fa’âl). Bagi Al-Kindi, kedudukan Akal Aktif sama seperti Malaikat Jibril dalam teologi Islam.

Penyelarasan agama dan filsafat sebagaimana dijelaskan dari penggunaan terminologi Al-Kindi di atas hanya bagian dari langkah awal saja. Namun yang lebih prinsipil adalah pada substansinya, bagaimanapun metafisika atau yang disebut filsafat pertama atau al-falsafah al-ûlâ pada hakikatnya adalah ilmu tentang penyebab pertama. Pada titik ini, filsafat sama sekali tidak bertentangan dengan agama.

Menurut Al-Kindi, sudah semestinya filsafat diterima sebagai bagian dari peradaban Islam, konsep yang berasal dari Aristotelianisme dan Neo-Platonisme dikemas dalam teologi Islam. Baginya, kebenaran filsafat dan agama tidaklah bertentangan, karena itu upaya-upaya yang Al-Kindi lakukan berpotensi memadukan dan menyelaraskan keduanya, inilah yang menjadi cikal bakal ciri-ciri dari filsafat Islam (Drajat, 2006: 11-12). Bahkan menurut Al-Kindi, kebenaran bisa datang dari manapun dan umat Islam tak perlu takut ataupun ragu untuk mengambil dan mengakuinya sebagai sebuah kebenaran (Soleh, 2016: 76).

Selanjutnya, Al-Kindi menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu yang aneh atau kemewahan dan merupakan sarana serta proses berpikir. Ini yang selalu ia tekankan kepada orang-orang konservatif atau yang fanatik agama dan menentang kegiatan berfilsafat. Al-Kindi menunjukan bahwa para filsuf dan filsafat sesungguhnya tidak merongrong wahyu dan agama, justru memberi argumentasi filosofis kepada kebenaran dan menguatkan argumentasi agama itu sendiri (Atiyeh, 1983: 21).

Al-Kindi juga menyatakan bahwa meskipun metode yang digunakan agama dan filsafat itu berbeda tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya itu sama, yaitu mendorong manusia untuk mencapai moralitas yang lebih tinggi. Dan upaya terakhir dari Al-Kindi adalah memfilsafatkan pengetahuan agama sehingga selaras dengan pemikiran filosofis dengan menafsirkan teks yang secara tekstual kurang sesuai dengan pemikiran filosofis.

Muammar Iqbal Ma’arief, Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, aktif di Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI), Fakultas Filsafat.

 

Referensi

Adamson, Peter. 2016, A History of Islamic Philosophy. Oxford UK: Oxford University Press.

Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka.

Drajat, Amroeni. 2006. Filsafat Islam (Buat Yang Pengen Tahu). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Klein-Franke, Felix. 1996. Histori of Islamic Philosophy (edited by Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman). London: Routledge.

Soleh, Ahmad Khudori. 2006. Filsafat Islam (Dari Klasik Hingga Kontemporer). Sleman: Ar-Ruzz Media.

 

Muammar Iqbal Ma’arief
Muammar Iqbal Ma’arief / 1 Artikel

Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, aktif di Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI), Fakultas Filsafat


Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: